Aisa
Letih telah menyelimuti raut Aisa. Muram tak berpudar.
“Ais?”
Ais tak mendengar. Gontai langkahnya menuju singgasana
peraduan malam. Sentuhan lembut membelai rambut manis Ais. Rintik air mata pun
kembali menetes. Dalam pelukan hangat semua tertumpahkan.
“Ibu, haruskah aku berhenti sampai di sini. Aku lelah, Ibu,”
“Tenanglah, Nak. Semua akan baik-baik saja,”
“Tapi aku sudah tak sanggup lagi. Ini sudah terlalu berat
untukku. Ibu,”
Ibu memungut secarik kertas dari kolong tempat tidur Aisa.
Ya, sebuah surat tagihan pembayaran dana sekolah.
“Tegakkan kepalamu, Nak. Insya Allah ada jalan,”
Aisa memeluk Ibunya dengan sepenuh hati. Hari demi hari
berlalu.
“Ibu, kemanakah kalung pemberian Ayah?”
Ibu Aisa hanya terdiam.
“Ibu, apakah Ibu menjualnya untuk membayar sekolahku?”
“Tidak, Nak,”
Ibu Aisa lalu merogoh sesuatu dari bajunya.
“Kalung ini sekarang menjadi milikmu, Nak. Ingatlah, apapun
yang terjadi, Ayah dan Ibu akan selalu bersamamu,”
Berkaca-kacalah mata Aisa.
“Ibu, terima kasih. Ais janji akan terus belajar. Tak kan
berhenti apapun yang kan terjadi. Dan ini, uang sisa uang hadiah lomba menulis
untuk Ibu. Sebagian sudah Ais bayarkan ke sekolah,”
Ibu Aisa tersenyum bahagia.
“Ibu, aku tak akan pernah berhenti melangkah, karena jalanku
masih panjang. Doa Ibu dan Ayahlah yang selalu menguatkan aku”.
Post a Comment for "Aisa"
Yuk tinggalkan jejak dengan berkomentar