Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ketika harus Mengakui


Ranti dalam menatap penuh keraguan ke arah pintu jendela kamar. Memandang rembulan yang tak rupawan.
“Ran, kok belum siap-siap?”
Ranti hanya menyeringai. Hatinya bergolak. Haruskah ia pergi dengannya.
“Aarrrgggghhhhh . ..  . Tuhan, aku tak tahu lagi harus bagaimana !!!!”
“Ranti, kenapa kamu, teriak-teriak tak jelas. Sudah cepat, sebentar  lagi Paimo datang”.
Ranti menapaki lantai kamar bak orang kehilangan uang. Menunduk, bingung, penuh kebimbangan.

 
“Mengapa harus Paimo. Ahh, mana mungkin. Ahh tidak, tidak, aku tak bisa,” Ranti melepas kembali anting-antingnya.
“Ranti, ayo cepat, Paijo sudah datang!”
“Iya, Bu !”
“Hai Ranti”
“Paimo…”
Gemerincing sebuah benda terjatuh.
“Ini bukan kamu, inilah kamu. Dan aku mencintai apa adanya”.
Paimo melepaskan anting Ranti yang satunya.
Jaket ia ikatkan di pinggang Ranti.
“Dan ternyata harus ku akui, aku memang kalah, kalah karena tak bisa untuk tak mencintaimu”.
Deena Setyowati
Deena Setyowati Just wanna write what I want to write . . .

Post a Comment for "Ketika harus Mengakui"