Bergesernya Peranan Partai Politik
A. Peranan Politik Partai
Para
elit dan pelaku politik lebih mengedepankan tujuan partai politik ketimbang
pada fungsinnya, yang justru dijadikan hal yang kesekian. Akibatnya, rakyat
pemilih sebagai pemegang kedaulatan atas pilihan politik diposisikan semata
untuk di eksploitir sebagai alat legitimasiatas posisi kedudukan yang diraih
elitnya.
Partai
politik idealnya harus bergerak secara terus menerus untuk menjalankan
aktivitasnyauntuk menjalankan fungsi-fungsinya untuk mengakses problematika
sosial yang dihadapi masyarakatnya, untuk dapat diartikulasikan dan
diperjuangkan para
wakil-wakilnya di parlemen.
Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara umum dapat dikatakan juga bahwa partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role)
yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran
penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga
negara. Berikut ini merupakan peranan partai politik:
1. Sebagai sarana sosialisasi
politik, yaitu proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota
masyarakat.
2. Sebagai sarana komunikasi
politik, yaitu proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah
kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.
3. Sebagai
sarana rekruitmen politik, yaitu seleksi dan pengangkatan seseorang atau
sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
4. Sebagai pengelola konflik, yaitu mengendalikan konflik melalui cara
berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai
aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawanya ke
parlemen untuk mendapatkan penyelesaian melalui keputusan politik.
5. Sebagai
sarana artikulasi dan agegrasi kepentingan, menyalurkan berbagai kepentingan
yang ada dalam masyarakat dan mengeluarkannya berupa keputusan politik.
6. Sebagai jembatan antara
rakyat dan pemerintah, yaitu sebagai mediator antara kebutuhan dan keinginan
masyarakat dan responsivitas pemerintah dalam mendengar tuntutan rakyat.
B. Bentuk Bergesernya Peranan Politik Partai
Idealnya, keberadaan partai politik dibedakan atas dua peranan; yaitu “tujuan” di satu sisi, dan“fungsi” pada
sisi yang lain, meskipun kenyataannya pembedaan itu semakin dikaburkan. Tujuan
partai politik, adalah sarana untuk mencapai kedudukan atas dukungan pengikut
dan pendukungnya. Sementara fungsi partai politik adalah untuk
memperjuangkan aspirasi bagi kesejahteraan para pengikut dan pendukungnya, yang
telah mempercayakan kepadanya melalui pemberian suara dalam pelaksanaan
pemilu.Jika pembedaan antara tujuan dan fungsi itu coba disepadankan dengan
realitas dalam praktek politik, maka berdasar kesimpulan empiris
ternyata peranan partai politik mengalami pergeseran.
Dalam
prakteknya, partai politik lebih berorientasi tujuan daripada proses. Pembuktian terhadap kenyataan
seperti itu, semakin nyata di Indonesia dimasa kepemimpinan era orde baru,
dengan politik massa mengambang (floating mass). Pada masa itu, pilihan rakyat
didasarkan atas order dari kekuasaan yang dimobilisasi secara sistemik melalui
otoritas kekuasaan single
majority, maupun dengan praktek mobilisasi massa
dengan jargon-jargon
verbal yang mengawang-awang. Misalnya melalui praktek money politic untuk upaya pemenuhan kebutuhan rakyat secara jangka pendek,
serta upaya peningkatan kesejahteraan rakyat secara jangka panjang
dalam bentuk harapan-harapan yang terlalu sulit untuk menunggu realisasi
sebagai pembuktiannya. Pergeseran seperti itu, masih tetap membias
dalam praktek politik multi partai era reformasi,sekelompok orang beramai-ramai
mendirikan partai politik, dengan rumusan flaform yang begitu ideal, tetapi
kenyataannya dari sekitar 10 partai politik yang mampu mencapai tujuan untuk memposisikan
elit-nya di sejumlah lembaga legislatif
di tanah air, secara praksis ikut-ikutan terjebak dalam menjalankan
fungsi-fungsi keterwakilannya. Belum lagi menyebut peranan partai politik
itu sendiri, platform kemudian hanya menjadi rumusan ideal di atas kertas, tanpa ada lagi korelasinya
dengan program pencapaiannya. Ramai-ramai berprogram menjelang
pelaksanaan pemilu, semata hanya untuk tujuan mengakses kader-kadernya
dalam pencapaian tujuan partai politik, pasca pemilu aktivitas partai
politik ikut menurun padahal idealnya sejarah partai politik didirikan untuk
men-jalankan fungsi-fungsinya,
sementarauntuk pencapaian tujuan adalah sasaran antara.
Partai politik itu hanya menjadi kendaraan politik bagi
sekelompok elite yang berkuasa. Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat
bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara
rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan
publik tertentu.
Inisiasi para elit politik ini boleh
jadi membiaskan fungsi parpol. Di mana fungsi parpol sebagai media pembelajaran
(pendidikan) politik bagi masyarakat, jembatan penghantar menuju perebutan
kekuasaan, dan wahana pematangan konsep kebernegaraan. Digeser atau bahkan digerus ke fungsi lain menjadi seperti
perusahaan misalnya. Persis seperti
seseorang yang menanam saham pada sebuah perusahaan. Sedangkan harapan para
penanam saham tidak lebih dari keuntungan material sebanyak-banyaknya.
Begitu juga yang akan terjadi bila
managemen parpol seperti perusahaan. Parpol secara tidak sadar telah melatih
masyarakat untuk berpikir “kotor”. Yakni mencari keuntungan material dengan
cara masuk ke kancah pemerintahan. Padahal, parpol sejatinya bukan lembaga atau
tempat mencari keuntungan material. Melainkan sebuah wadah yang dibangun di atas
landasan kebersamaan, kecerdasan, dan kesamaan ide gagasan untuk membangun
bangsa yang makmur dan sejahtera.
Partai politik yang diharapkan bisa
bertindak optimal dalam menjalankan perannya sebagai intermediary atau bisa
disebut sebagai jembatan antara pemerintah dengan rakyatnya nampaknya mulai
menampakkan tanda-tanda pergeseran fungsinya. Di Indonesia sendiri, partai yang
seharusnya bisa membawa suara rakyat kepada pemerintah berkuasa malahan
bergeser fungsi menjadi suatu kendaraan politik yang bertujuan semata-mata
untuk bisa memperkaya orang-orang didalamnya saja atau dimanfaatkan sebagian
oknum agar bisa menduduki jabatan-jabatan public semata. Padahal masyarakat
(modern) lebih melihat politik sebagai proses aktualisasi diri dan kepentingan
mereka yang akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik. Hal ini tentu
berdampak besar pada system politik di Negara tersebut, fungsi input yang
melekat pada partai politik hanya dianggap sebagai wacana yang tidak wajib
untuk dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut.
Akibatnya rakyat harus menanggung dengan mengikuti kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah yang isinya sangat tidak sesuai dengan kepentingan dan harapan
mereka sebagai rakyat. Hingga pada akhirnya rakyatnya tidak sejahtera, semakin
terpuruk, namun malah politisi-politisi kita yang berada di pemerintah, yang
diusung oleh partai politik itu menjadi semakin sejahtera bermandikan harta
akibat membuat keputusan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.
C. Penyebab Bergesernya Peranan
Politik Partai
Indonesia dalam system
kepartaian menganut sistem multi-partai atau banyak partai. Dalam pemilu 2009
terdapat sekitar 44 Partai Politik yang mengikuti pemilihan umum. Dan
berdasarkan hasil Pemilihan Umum Legislatif terdapat 9 (Sembilan) partai
politik yang secara nasional memperoleh suara dan kursi anggota DPR yaitu
Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
Partai Keadilan Sejahterah, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional,
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati
Nurani Rakyat. Dalam sejarah Pemilihan Umum di Indonesia terdapat begitu
banyaknya partai politik di Indonesia, namun keberadaannya dan eksistensi
partai bergantung pada sejauhmana partai dapat bertahan disaat pasca pemilihan
umum
Seperti
yang dapat kita amati selama ini, kiranya menagemen parpol sudah sedikit
tergerus pada model menagemen perusahaan. Salah satu gejala yang dapat
dirasakan adalah ketika seseorang “melamar” menjadi caleg pada salah satu
parpol. Para caleg tidak cukup hanya memiliki intelektualitas, moralitas,
spiritualitas, loyalitas, dan integritas. Tetapi juga mesti memiliki modal
(baca: uang) banyak untuk diserahkan kepada parpol.
Para elite politik begitu mudah terkena bujuk rayu kekuasaan. Dan, setelah mereka mendapatkan kekuasaan politik itu, mengapa mereka begitu enggan
melepaskannya. Jawaban menarik diberikan Vaclav Havel ketika menerima
SonningPrize pada 28 Mei 1991 untuk kontribusinya bagi peradaban Eropa. Havel,
sangsastrawan yang pernah menjadi Presiden Cekoslowakia (periode 1989-1993) dan
Presiden Republik Ceko (periode 1993-2003), menyatakan, ada tiga dorongan
yangmenjadikan seseorang berkeinginan kuat menggapai kekuasaan politik. Pertama,gagasan-gagasan
lebih baik untuk mengorganisasikan masyarakat. Nilai- nilai dan ideal-ideal politik
itu diperjuangkan ke dalam kenyataan sosial. Kedua, motivasi peneguhandiri.
Kekuasaan memberikan peluang besar untuk membentuk dunia sebagaimana yangtelah digambarkan
dalam diri seseorang. Ketiga, menggapai berbagai keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan politik. Pada alasan inilah akan terlihat betapa
kejamnya bujuk rayu kekuasaan.
D. Upaya untuk Memulihkan Peranan Politik
Partai
Menjadi sebuah partai kader dan juga kelak menjadi partai
berbasis massa maka, penting untuk partai yang akan berdiri membuat perencanaan
yang matang dan lebih strategis dan taktis dalam membuat sebuah partai politik,
sehingga dalam mendirikan sebuah partai politik maka membutuhkan tahapan sampai
dengan adanya proses kaderisasi atau pembinaan bagi anggota partai politik
hingga layak menjadi peserta pemilihan umum. Hal ini untuk menghindari aspek
prakmatis seseorang atau sekelompok orang yang ingin mendirikan partai hanya
untuk kepentingan sesaat, bukan sebagai partai kader dan bukan sebagai partai
massa. Tetapi partai yang dilatarbelangi oleh kepentingan yang bersifat proyek
sesaat atau dengan alasan tersedianya dana bagi partai politik setelah
didirikan yang berasal dari khas Negara.
Peranan partai politik di daerah kurang menjalankan
mekanisme kontrol yang efektif kepada pemerintah daerah dan cenderung
membiarkan wakil-wakilnya di DPRD untuk berkolusi dengan eksekutif lokal. Semua ini menunjukkan bahwa local good governance
belum berjalan baik di kalangan partai politik. Good governance partai politik dalam UU No. 2 tahun 2008 pada prinsipnya sudah memberikan
prinsip good governance (tata kelola yang baik). Bebarapa prinsip yang
tercantum antara lain transparansi, demokratis, adil, akuntabel, dan berbudaya
hukum.
Implementasi Transparansi
Untuk mewujudkan local good governance, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain: pertama, kondisi masyarakat yang apatis
terhadap program-program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya-upaya
khusus untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. Untuk
itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif
kepada seluruh komponen masyarakat.
Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan
informasi dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat tergantung
pada segmen sasaran yang dituju. Selain itu, seringkali cara-cara dan media
yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai sasaran daripada
media modern.
Ketiga, seringkali berbagai unsur nonpemerintah
(pers, ormas, dan LSM) termasuk adalah partai politik lebih efektif untuk
menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri.
Implementasi Akuntabilitas
Pertama, perlunya penetapan target kuantitas
atas pencapaian suatu program dengan melakukan pemantauan berdasarkan pada
pencapaian target berbagai indikator kinerja (performance indicators).
Kedua, dibutuhkan adanya mekanisme pertanggungjawaban publik secara
regular. Hanya dengan adanya mekanisme pelaporan, pertanggungjawaban publik,
dan verifikasi inilah tingkat keandalan laporan pengelola program dapat
ditingkatkan dan tingkat pencapaian suatu program dapat terukur dengan mudah,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiennya.
Ketiga, diterapkannya mekanisme penanganan
pengaduan dan keluhan. Untuk menanganinya diperlukan suatu bagian khusus dalam
pengelola program atau instansi pelayanan masyarakat yang bertugas menangani
pengaduan masyarakat yang masuk, baik secara langsung atau melalui pemberitaan
di media massa.
Implementasi Partisipasi
Keterlibatan masyarakat diperlukan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan suatu program. Mekanisme kontrol dapat langsung
dilakukan tanpa perlu menunggu suatu kesalahan atau penyelewengan terjadi.
Pelibatan masyarakat yang bersifat mobilisasi (tidak partisipatif) dan tidak
diikuti dengan pemberian wewenang tidak akan bermanfaat dalam peningkatan
kinerja suatu program. Pembangunan daerah harus dilakukan bersama dengan
masyarakat, bukan untuk masyarakat.
Akhirnya desentralisasi dan otonomi daerah merupakan kebijakan dalam upaya
memberikan ruang gerak partai politik dan masyarakat di tingkat lokal agar bisa
meningkatkan partisipasi dalam mewujudkan tatanan sosial yang demokratis agar
masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan dapat terwujud.
Asumsinya adalah ketika kekuatan-kekuatan lokal diberi ruang dalam proses
politik akan terbentuk tata pemerintahan lokal yang baik (local good
governance) karena masyarakat lokal bisa menyelenggarakan pemerintahan
sendiri, terjadi partisipasi publik dan transparansi. Kekuatan lokal merupakan
bagian dari kemajemukan yang akan mendorong terwujudnya masyarakat demokratis
sejauh kesadaran tertib sosial (civility) yang merupakan semangat dari
penguatan masyarakat warga (civil society) menjadi pijakan utamanya.
Lokalitas akan menjadi konstruktif apabila negara dan kekuatan-kekuatan sosial
politik (partai politik) mampu memfasilitasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: PT. Rajawali Perss.
Budiardjo, Miriam. 2000. Pengantar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Emmanuel Josafat Tular. 2010. Mengembalikan Fungsi Partai Politik yang Berkualitas. Diakses dari http://pemikiranemmanuel.blogspot.com. Pada tanggal 11 Mei 2012.
Muslimmuda. 2010. Menyikapi Keberadaan Partai Politik di Indonesia. Diakses dari http://www.tblog.com/. Pada tanggal 11 Mei 2012. Admin. 2012. REALITA REGENERASI PARPOL. Diakses dari http://binapersatuan.com/blog/realita-regenerasi-parpol/. Pada tanggal 11 Mei 2012.
Emmanuel Josafat Tular. 2010. Mengembalikan Fungsi Partai Politik yang Berkualitas. Diakses dari http://pemikiranemmanuel.blogspot.com. Pada tanggal 11 Mei 2012.
Muslimmuda. 2010. Menyikapi Keberadaan Partai Politik di Indonesia. Diakses dari http://www.tblog.com/. Pada tanggal 11 Mei 2012. Admin. 2012. REALITA REGENERASI PARPOL. Diakses dari http://binapersatuan.com/blog/realita-regenerasi-parpol/. Pada tanggal 11 Mei 2012.
Terima kasih, tulisan pemikiran Emmanuel masuk menjadi referensi. Salam. Emmanuel J. Tular
ReplyDeleteterima kasih kembali
Delete